Menggugat Tradisi Perayaan Kemerdekaan RI (II)

Melihat tradisi perayaan HUT kemerdekaan negeri ini lewat "drama" Pa Pi (Panjat Pinang) yang dipentaskan setiap tahun itu dan di saksikan oleh generasi kita Apakah pemerintah tidak merasa iba dan terpanggil nuraninya melihat ini dengan kacamata kemanusian sehingga saban tahun terus mendramakan tontonan warisan Belanda itu dan sejenisnya? Seharusnya negeri yang  hampir mendekati seabad (71 tahun) kemerdekaan adanya ide dan gagasan yang lebih cemerlang dalam menghibur masyarakat dan mengadakan perlombaan yang memberi kontribusi yang positif dan agamis untuk kemajuan dan pembangunan bangsa ini. Bukan dalam artian meninggalkan semua berbagai jenis perlombaan yang lebih dulu ada tempat dihati masyarakat, tetapi menambah nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat dan agamis untuk masyarakat, dengan menambah perlombaan semacam MTQ, lomba tahjiz mayat dan sejenisnya, sedangkan lomba dengan nilai lama yang tidak mencoreng nilai-nilai kemanusiaan seperti petandingan atau perlombaan olahraga dan kearifan lokal lainnya yang positif juga tetap di pertahankan kurang lebih berdasarkan sebuah qaidah ushul fiqh “ al-muhafadzatu ‘ala al-qadimi ash-shaalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah” (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik). 

Umpamanya dengan menggelar Yasin dan tahlilan bersama (mereka nonmuslim disesuaikan dengan agama masing-masing) jangan hanya merenungkan cipta sebagai doa mengenang para syuhada dan doa lainnya kurang lebih hanya beberapa saat saja disaat ucapan perayaan kemerdekaan di laksanakan dan juga di barengi dengan kegiatan santunan kepada anak yatim piatu dan fakir miskin baik di kalangan pejuang atau masyarakat biasa lainnya walaupun serimonial semacam ini ada tetapi  dalam skala yang kecil dan tidak menjadi agenda resmi pada setiap perayaan dan tradisi tahun an memperingati HUT (Hari Ulang Tahun). Doa anak yatim dan fakir miskin itu sangat sakral dan menjadi senjata pamungkas dalam menata dan merawat bangsa ini untuk menjaga keutuhan NKRI dan kemajuan dan kesejahteraan dalam menggapai negeri bermahkotakan tinta emas baldatun tayyibatun warabbul ghafur.


Hendaknya perlombaan perayaan yang sudah menjadi tradisi seperti panjat pinang dan sejenisnya yang dapat mencoreng nilai kemanusiaan walaupun dilhat dalam perspektif yang lain ada nilai positifnya dalam mengajarkan kita dituntut pantang mundur dan menyerah dalam menggapai suatu cita-cita dan harapan namun berpijak kepada sebuah qaidah ushul fiqh “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” (mencegah kerusakan lebih diprioritaskan dari pada mendapatkan kemashlahatan atau keuntungan). Ketimbang atraksi yang dapat di ibrahkan (di ambil pelajaran)  dengan sebuah nilai perjuangan dan pantang menyerah lewat tradisi “drama” Pa Pi (Panjat Pinang) itu dan saling bahu membahu dalam menggapai sebuah harapan dan cita-cita harus di kesampingkan terlebih dahulu dengan menempatkan nilai-nilai yang dapat merusak dan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri pada posisi yang di utamakan. Walhasil hendaknya tradisi perayaan dengan ’drama’Pa-Pi (panjat pinang) dapat di gantikan dengan bentuk perlombaan lain yang positif dengan tetap menjunjung kearifan lokal dan nilai kemanusian itu sendiri. Semoga dan Salam Reformasi.

.



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menggugat Tradisi Perayaan Kemerdekaan RI (II)"

Post a Comment