Dayah Aceh (I): Menelusuri Sejarah Dayah

Dayah semakin hari terus meningkatkan pemintanya di kalangan masyarakat.Setelah sempat mengalami banyak peristiwa, bahkan sulit mendapatkan pengakuan sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia, Dayah kini dihadapkan pada masalah baru.Perkembangan teknologi sangat pesat, yang mengubah seluruh aspek kehidupan termasuk cara pandang masyarakat terhadap Dayah. 

Secara tidak langsung Dayah dihadapkan pada dua pilihan, dia harus menampakkan “wajah baru” sebagai respon atas kenyataan yang terjadi, atau tetap dengan keadaannya yang mempertahankan sisi tradisional, khas dan unik. Bukan sesuatu yang tidak mungkin Dayah harus berganti wajah karena itu adalah keharusan.

Kita mengetahui bahwa Dayah adalah lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik dan menggembleng para santri salah satungan dengan menjadikannya juru dakwah agama bagi kalangan masyarakat luas. Tujuan tersebut tentu harus bersinergi dengan cara yang mestinya dilakukan Dayah dalam mempersiapkan santri kelak setelah kembali ke masyarakat. Sedangkan pada sisi yang lain, kekhasan dan keunikan Dayah menjadi pertaruhan. Jika kemajuan teknologi tidak direspon dengan agresif, maka Dayah akan tertinggal jauh dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Inilah yang kemudian menjadi tantangan Dayah abad ini.

Kemampuan Dayah untuk menjawab tantangan ini, pernah dikomentari oleh Nur Cholis Madjid dalam Bilik-bilik Dayah (Paramadina, 1997). Dia berpendapat bahwa tantangan arus modernisasi yang berlangsung menjadi tolok ukur seberapa jauh Dayah dapat survive dengan zamannya. Apabila Dayah mampu menjawab tantangan itu, akan memperoleh kualifikasi sebagai lembaga modern. Lembaga yang masih berpegang teguh dengan tujuan yang utuh tanpa ketinggalan zaman dan kolot.

Fenomena ini berbeda dengan era 70-an dimana era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) baru bisa diakses oleh kalangan tertentu. TIK kini, telah menjadi bagian gaya hidup sehari-hari banyak orang. Sebut saja sosial media yang telah membagi manusia ke dalam dua dunia: nyata dan maya. Hal ini penting untuk disikapi Dayah mengingat kemajuan tersebut selalu memiliki danpak negatif disamping positif. Seyogiyanya, teknologi haruslah menjadi media transfomasi nilai-nilai positif dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus. termasuk Dayah. (Miftahul Arifin, Santri Ma’had “Spesial Program For Ushuluddin Faculty (FUPK)”UIN Walisongo , 2016)

Meminjam istilah Gus Dur, Dayah adalah sebagai sebuah ‘sub kultur’ yang khas, yang kini berada tengah-tengah kondisi itu (modernisasi). Pilihan bertahan dalam kondisi tradisional akan menyebabkan ia tertinggal jauh dari peradaban. Sehingga, mau tidak mau Dayah harus merespon kemajuan tersebut dengan bijak. Satu diantaranya adalah kemajuan TIK haruslah dapat menjadi media untuk memaksimalkan peserta didik (baca:santri) dalam mengembangkan ilmu yang ia miliki.


Dengan demikian, santri sebagai produk Dayah haruslah mulai belajar hal-hal baru utamanya teknologi.Karena dapat kita definisikan bahwa, santri hari ini bukan hanya santri yang pandai membaca kitab kuning, namun gagap teknologi.Bukan pula mereka yang hanya paham ilmu ulama salaf tanpa tahu ilmu ulama kholaf.Begitulah kurang lebihnya.Santri yang baik, harus sesuai tuntutan sosial.Mereka haruslah paham terhadap kenyataan, mengerti situasi kekinian, dapat menyelesaikan problem sosial dengan sikap arif dan dan berlandaskan hukum yang benar, tanpa terlepas dari tradisi yang dipegang oleh ulama terdahulu.

Di sinilah peran pondok Dayah untuk mencetak santri yang diharapkan itu.Sudah waktunya pondok Dayah dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk mempermudah santri menuntut ilmu, memperluas ruang dawah Dayah dan mempertimbangkan efektivitas belajar.Karena dengan teknologi, ilmu pengetahuan dapat diserap atau disajikan tanpa batas. Kemajuan ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan Dayah.

Sejarah dan Asal Usul Dayah
Penyebaran Islam di nusantara tidak lepas dari peran dayah. Dayah itu sendiri berasal dari kata “zawiyah” yang bermakna sudut atau pojok mesjid. Kata zawiyah itu pada mulanya dikenal di di Afrika utara pada awal perkembangan islam. Zawiyah dimaksdukan kala itu adalah pojok mesjid yang menjadi halaqah para sufi, mereka biasanya berkumpul dan bertukar pikiran dan pengaalaman, berzikir, berdiskusi dan beriktikaf di mesjid. Di Aceh dalam khazanah pendidikannya, istilah zawiyah itu berubah menjadi dayah, hal ini sama seperti kata “madrasah” berubah menajdi “meunasah” di kalangan masyarakat Aceh.

Dayah menjadi benteng terakhir untuk memfilter generasi dari berbagai pengaruh luar dan sejak awal mulanya menjadi tempat menerpa generasi penerus dalam membekali para santrinya dengan berbagai macam disilpin ilmu agama dan mendidik akhlak dan budi pekerti.Dayah dewasa ini lahir dengan inovasi baru dizaman semakin canggih imformasi dan    teknologinya, diharapkan mampu untuk menjawab tantangan.

Dayah (dalam bahasa Arab; zawiyah.Arti harfiahnya adalah sudut, karena pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di sudut-sudutmesjid). Dibeberapa negara muslim lain dayah atau zawiyah juga lazim disebutkan sebagai sekolah agama Islam (madrasah) Di Indonesia penyebutan dayah untuk sebuah lembaga pendidikan agama Islam adalah di Aceh (di pulau Jawa disebut Pesantren, asal kata "pe-santri-an". Dalam pemahamannya dayah itu sebagai tempat parasantri menetap dan menimba ilmu). Pengertian dayah (Dayah) Istilah Dayah berasal dari bahasa Sangsekerta yang kemudian memiliki pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 2016)

Pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat santri. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata, yaitu sant(manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata Dayah (dayah) dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi orang baik. Dari segi terminologis, Dayah diberi pengertian oleh Mastuhu adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami,menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat dikatakan lengkap apabila didalam dayah (Dayah) itu terdapat elemen-elemen seperti pondok, masjid, Abu atau Abi (pimpinan/guru) dan pengajaran kitab-kitab klasik. (Taufiq Abdullah, Sistem Pendidikan Madrasah dan Dayah di Sulawesi Selatan dalam Agama dan perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1983, Hal 328)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dayah Aceh (I): Menelusuri Sejarah Dayah"

Post a Comment