Bulan Safar: Benarkah Safar Bulan Sial? (II)

Tanpa terasa umat islam saat ini telah memasuki dan menjelang akhir bulan                          yang kedua dalam kelender islam yakni bulan safar. Allah SWT menjadikan setiap bulan sesuai dengan wajah tasmiah (alas an penamaan)nya, umpamanya bulan yang diharamkan untuk berperang dinamai dengan bulanmuharram, bulan saat pepohonan berduri dikenal dengan  bulan rajab, begitu juga dengan safar, wajah tasmiah safar, disebabkan pada bulan itu   orang arab meinggalkan rumah rumah mereka dalam keadaan kosong (kitab Hawasyi Syarwani, jld 3, hal 371).

Allah SWT  menjadikan bulan Safar juga sebagai  salah satu bulan yang mulia atau yang lebih dikenal dengan nama Safarul khairi. Namun  dalam bulan safar  terdapat satu hari yang dikenal oleh sebgaian masyrakat dengan hari pembawa sial tepatnya hari rabu. Masyarakat aceh mneyebutnya dengan rabu abeh (rabu terakhir bulan safar), di jawa popular dengan rabu wekasan dan masih banyak ditempat lainnya.

Salah satu prinsip dasar yang wajib diyakini bahwa berbagai bencana, musibah dan mara bahaya yang terjadi di dunia ini semuanya berdasarkan qadha dan qadar sang khalik yakni Allah SWT. Penyebab turunnya berbagai musibah pada rabu terakhir safar (rabu abeh) itu bukan diri rabu abehnya, juga bukan bulan safarnya serta tangan-tangan lain ghairullah, tetapi semuanya telah ada pada qadha dan qadar Allah SWT.

Rasulullah SAW jauhi hari telah memperingatkan umat-Nya untuk tidak mempercayai dan menyakini bahwa suatu penyakit itu disebabkan dan ditularkan oleh penyakit itu sendiri, namun wajib menyakini itu semua dari ketentuan dan ketetapan Allah SWT. Hadist tersebut berbunyi: “Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya beliau bersabda:“Tiada kejangkitan, dan juga tiada mati penasaran, dan tiada juga Shafara”, kemudian seorang badui Arab berkata: “Wahai Rasulullah SAW, unta-unta yang ada di padang pasir yang bagaikan sekelompok kijang, kemudian dicampuri oleh seekor unta betina berkudis, kenapa menjadi tertular oleh seekor unta betina yang berkudis tersebut?”. Kemudian Rasulullah SAW menjawab:“Lalu siapakah yang membuat unta pertama berkudis (siapa yang menjangkitinya)?”. (HR Buhari dan Muslim).


Dalam hadist diatas kata “tiada kejangkitan” (la al’adwa) sebagai sanggahan       Rasulullah terhadap kaum Arab Badui terdahulu yang menyakini bahwa unta yang sehat itu sakit disebabkan oleh unta lain yang berkudis, sehingga baginda nabi sosok uswatun hasanah tidak langsung menyanggahnya dengan ungkapan menafikannya, tetapi memberi jawaban dengan balik bertanya sehingga sang Arab Badui dapat memahami dan menyadarinya dengan persepsi bahwa berkudisnya unta sehat bukan disebabkan oleh unta lain yang berkudis, namun semua itu karena qadha dan qadar Allah SWT.

Allah telah menjelaskan hal tersebut dalam banyak firman-Nya, diantaranya dalam surat al-Hadid ayat 22 berbunyi: “ Setiap bencana yang menimpa di bumi dan apa yang menimpa dirimu sendiri semuanya telah tertulis di dalam kitab (lauh Mahfudh) sebelum Kami meujudkannya”. (QS. Al-Hadid: 22). Dalam hadist Rasulullah SAW juga disebutkan: “Allah telah menulis semua makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun”.(HR. Muslim no. 2653).

Sedangkan ungkapan rasulullah “la haamata” (tiada mati penasaran) untuk menolak argumentasi kaum jahiliyah yang berasumsi bahwa mereka yang telah meninggal dunia, para arwah bergetanyangan karena penasaran sehingga berterbangan laksana burung   dan juga menganggap arwah mayit berpindah pada tubuh binatang serta akan mengalami reinkarnasi (dihidupkan kembali).

Tentu saja pemahaman semacam ini sangat kontradiksi dengan penjelasan rasulullah SAW dalam  hadist lain yang berbunyi: Allah menjadikan ruh mereka dalam bentuk seperti burung berwarna kehijauan. Mereka mendatangi sungai-sungai surga, makan dari buah-buahannya, dan tinggal di dalam kindil (lampu) dari emas di bawah naungan ‘Arasyi.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim). Para ulama menyebutkan terjadi perbedaan pendapat tentang keberadaan roh setelah manusia meninggal. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bulan Safar: Benarkah Safar Bulan Sial? (II)"

Post a Comment