Menguak Esensi Maulid Rasulullah Saw


Kini kita telah berada di bulan kelahiran junjungan kita Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam tepatnya bulan Rabiul Awal sering masyarakat menyebutnya disebut bulan Maulid. Menyikapi datangnya hari kelahiran Rasulullah Saw pada tanggal 12 Rabiul Awal sering disebut dengan tahun gajah walaupun adanya kontroversi pendapat ulama tentang waktu , hari dan bulan kelahiran beliau, masyarakat menyambutnya dengan membaca kisah kelahiran Rasulullah baik sebagaimana di kupas dalam kitab Barjanzi, Ad-Diba’I dan lainnya. bahkan sudah menjadi tradisi pembacaan mauled di iringi dengan hidangan makanan di Aceh di kenal dengan Khanduri Mauleud, sedangkan di daerah Jawa seperti  di daerah istimewa Jogjakarta  adanya  tradisi grebeg maulid, masyarakat kalimantan selatan, di kenal dengan nama “Baayun Mauled”, kawasan  Cirebon di sebut dengan “panjang jimat”dan banyak lain-lainnya di wilayah Indonesia dengan nama yang khas.
Lantas seremonial yang telah mendarah daging dalam masyarakat dalam betuk peringatan atau hanya sekadar perayaan saja? Sebagian orang membedakan ungkapan perayaan dengan peringatan. Mereka menyebut perayaan itu semacam  serimonial dan acara hura-hura yang di hadiri banyak orang. Sedangkan peringatan itu di ungkapkan sebagai bentuk memetik hikmah dari segala sesuatu yang diperingati.  Terlepas dari perbedaan baik dari esensial keduanya maupun  ada yang menyebutnya dengan amaliah yang di luar syariat Islam sehinngga dilebeli dengan bid’ah yang di larang maupun tradisi dalam bentuk penyajian makanan, setidaknya dengan memperingati hari kelahiran Rasulullah kita tingkat toleransi dalam perbedaan dan terus meningkat ukhuwah antar sesame sehingga mengecilkan jurang sosial dan agama dalam masyarakat.




Problema dan kontroversi seputaran maulid nabi, hal ini bukanlah merupakan  wacana baru. Perdebatan yang sebenarnya hanya pada level luar dan metodenya, bukan pada problema esensial  terhadap spiritualitas nilai sejarah dan pengkajian ulang sosok ketokohan beliau yang direalisasikan  lewat tradisi mauled tersebut. Pendek kata sejatinya tidak perlu untuk di bahas dan diperumit panjang lebar, terlebih sampai ada upaya pengkafiran dan sejenisnya. Dengan bahasa yang  sederhana, kita bisa menyebutkan bahwa merayakan maulid Nabi berarti berusaha menghadirkan kembali sosok ketokohan beliau dalam pribadi kita masing-masing.
Pembahasan maulid nabi bukan hanya secara seremonial sebagaimana yang telah tdi praktekkan secara turun menurun juga terus mengintropeksi diri dalam meneladani akhlak rasulullah dalam setiap sendi kehidupan. Nilai inilah yang perlu kita renungkan dalam setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.

Akhalak baginda nabi laksana al-quran berjalan. Begitu tinggi dan mulianya akhlak beliau. Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan Al Quran. Bahkan beliau sendiri adalah sosok sempurna yang hadir di tengah-tengah umat manusia, membawa kabar gembira, menerangi kegelapan dengan membawa cahaya Islam. Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah SAW. Aisyah menjawab, “Akhlak Rasulullah SAW adalah Al Quran.” (HR Muslim). Sungguh, jawaban Aisyah ini singkat, namun sarat makna yang luar biasa. Sayyidatina Aisyah menyifati beliau dengan satu sifat yang dapat mewakili dan menghimun seluruh sifat yang ada pada Rasulullah Saw.
Banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang kepribadian tauladan yang sangat mulaipada sosok rasulullah Saw,diantaranya sebagaimana disebutkan dalam surat al-Ahzab ayat 21 berbunyi; Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Maidah:21).
Berdasarkan ayat di atas bahwa dengan akhlak dan budi pekerti yang dimiliki oleh baginda  nabi diharapkan semua umat manusia mampu mencontoh dan meneladi-Nya sehingga terciptalah kehidupan umat Islam yang aman dan damai di negeri Indonesia tercinta ini serta dunia umumnya, karena pada hakikatnya nabi Muhammad diutus adalah sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Dalam surat lain juga di ungkapkan pembahasan tentang sosok kepribadian rasulullah dengan bunyinya “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”(QS. Ali Imran:164)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah pribadi yang penuh anugerah. Namun demikian, kini beliau Saw. sudah wafat dan tidak ada nabi setelah beliau. Agama ini telah sempurna dan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas,diantaranya pada ungkapan “Beliaulah yang membacakan ayat-ayat Allah”. Pemahaman ayat ini menunjukkan bahwa kita diajak untuk merenungkan intropeksi diri dengan bertanya kepada pribadi masing-masing, apakah kita ini  termasuk orang-orang yang menerima ayat-ayat Allah yang telah dibacakan oleh bagibda rasulullah Saw atau tidak?
Masyarakat yang hidup di zaman modern dan era globalisasi ini terutama generasi muda sang penerus estafet agama masih banyak yang tidak berbangga kepada Nabi Muhammad Saw. Mereka masih lebih mengidolakan tokoh-tokoh barat, para artis dan sejenisnya yang jauh dari nilai islam dan berakhlakul karimah. Mereka yang suka lagu India akan mengidolakan aktor-aktor dan penyanyi-penyanyi India. Begitu juga halnya yang terjadi terhadap pengidolaan tokoh yang jauh dari nilai-nilai tauladan dan syariat islam.

Sudah di maklumi tugas rasulullah Saw untuk mengubah prilaku dan akhlak yang menyimpang dan jahiliyah. Ini dapat terpahami dari penggalan kalimat “membersihkan (jiwa) mereka”. Sosok Rasulullah  Saw telah mengubah akhlak dan prilaku masyarakat jahiliah yang kejam dan beringas dengan moralitas yang agung, tinggi, nan luhur. Telah mafhum bagi kita bahwa diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak dan memberi keteladanan yang baik.
Ketika Nabi Muhammad Saw. diutus, beliau berhadapan dengan masyarakat jahiliah di Mekkah. Masyarakat jahiliah meeka suka mengedepankan keturunan untuk memperoleh kemuliaan. Jika mereka berasal dari keturunan dan keluarga yang mulia, maka dianggap mulia. Jika mereka berasal dari keturunan dan keluarga yang tidak mulia dan tidak berpengaruh, maka dianggap terhina.
Sosok junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Beliau tidak lain adalah seorang tokoh keteladanan totalitas kita di setiap aspek kehidupan. Mulai dari hal kecil dan dianggap sepele, lihatlah bagaimana cara makan Rasulullah Saw pun merupakan keteladanan. Begitu juga bagaimana baginda  Nabi Muhammad Saw masuk ke toilet, ini  juga menjadi bagian akhlak keteladanan. Bagaimana baginda nabi bertindak yang dianggap sepele menjadi suri tauladan untuk umat-Nay dan kini nilai tersebut telah banyak diabaikan, terlebih lagi problema dan permasalahan  yang menyangkut dengan sosial masyarakat, bernegara, hubungan bilateral dan lainnya yang begitu besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Realisasi nilai Itulah yang disebut sebagai bentuk Islam kaaffah.
Semoga dengan berbagai bentuk perayaan dan kegiatan dalam memperingati Maulid Nabi besar Muhammad Saw, kita berusaha  sekuat tenaga dalam  meneladani setiap bentuk kebaikan dan tingkah laku yang ada pada diri beliau di termasuk tidak saling menghujat dan mencaci serta menebaarkan kebenciaan diantara sesama akibat tidak sependapat dengan kita baik terhadap peringatan maulid nabi juga persolaan dan problema lain dalam masyarakat.
Memperingati maulid jangan sampai menimbulkan ekses pelanggaran syariat dan  terkadang melalaikan dalam meneladani akhlak rasulullah Saw dengan terlalu sibuk merayakannya secara seremonial. Tidak dilarang merayakannya dengan acara yang meriah tetapi ajaran yang diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw jangan sampai tidak membekas di hati. Bukankah yang paling esensial itu adalah di samping memperingati dan juga kemudian meneladani kepribadian Nabi Muhammad Saw sehingga beliau senang melihat umat-Nya?
 Namun biarpun demikian bukan dengan alasan tidak mampu meneladani secara esensial dan totalitas maulid nabi Saw sehingga meninggalkan seluruhnya sesuai mana di ungakapkan Imam Ghazali dalam kitabnya “Bidayatul Hidayahh”  dalam sebuah qaidah   “ Ma la Yudraku Kulluhu laa Yutraku kulluhu’(Apa-apa yang tidak bisa dilakukan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya)
Semoga dengan perayaan maulid nabi Muhammad Saw kita gandengkan nilai serominial yang telah lama kita lakoni dan praktekkan dalam masyarkat dengan kita meneladani akhalukul karimah beliau sehingga esensi dari peringatan maulid nabi akan semakin bermakna dan kita perkuat ukhuwah islamiah dan toleransi sesama dengan tidaksaling menghujat dan memvonis dengan lavel yang tidak layak dan pantas ketika berbeda persepsi demi mengokohkan bendera ahli sunnah waljamaah (aswaja). Semoga

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menguak Esensi Maulid Rasulullah Saw"

Post a Comment