Konsep Qaulan Layyina Dalam Komunikasi Islam (I)
Islam sebagai agama komunikatif dalam perspektifnya,
komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena
segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud
adalah komunikasi yang Islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah.
Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang
bersumber kepada Al-Quran. Dalam proses komunikasi paling tidak terdapat tiga
unsur, yaitu: komunikator, media dan komunikan. Kita
telah memakluminya bahwa komunikasi Islam merupakansebuah proses penyampaian
pesan-pesan keIslaman dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi dalam
Islam. Dengan pengertian demikian, maka komunikasi Islam menekankan pada unsur
pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam, dan cara (how),dalam
hal ini tentang selekta kapita
komunikasi Islam.Pesan-pesan ke-Islaman yang
disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, Dalam Al-Qur`an ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan
dengan baik dan efektif. (YS. Gunadi, Himpunan Istilah
Komunikasi,1998),
Salah
satu komunikasi Islam dalam konteksnya dikenal dengan nama Qaulan layyina terdapat
pada Surat
Thaha ayat 44. Ini dapat dipahami dan dimaknai sebagai salah
satu landasan
teoritis sebagai pengembangan ilmu komunikasi
Islam. Komunikasi Islam Dalam Konteks
Kapita Selekta dalam Al-Quran adalah qaulan layyinan. Kata “layyina”
dalam kamus al-Munawir adalah bentuk masdar dari kata lana, yang
mempunyai arti lunak, lemas, lemah lembut, halus akhlaknya. Syekh As-Suyuti dan Al-Mahalli, Hasyiyah
as-Sawi ‘ala Tafsir Jalalain mengartikannya dengan sahlan latifa,
yaitu mudah, lemah lembut. Para pakar tafsir menyebutkan Istilah qaulan
layyinan hanya satu kali disebutkan dalam Alquran yang terdapat dalam surat
Thaha ayat 44: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia sadar atau takut"(QS Thaha: 44)
Syekh Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr dalam
tafsirnya mengenai ayat diatas memaparkan
kisah Nabi Musa a.s. dan Harun a.s. ketika diperintahkan untukmenghadapi
Fir’aun, yaitu agar keduanya berkata kepada Fir’aun dengan perkataan
yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau
gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian
kata ini dipinjam (isti’ârah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut.[1]Sementara
yang dimaksud dengan qaul layyinadalah perkataan yang mengandung
anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan
pihak lain bahwaapayang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak
bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara
tersebut. Dengan demikian, qaul layyinadalah salah satu metode
dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran,
bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan (Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis: Isa al-Babī al-Halabī,
1384 H), Jilid
16, h. 225.).
Sedangkan ulama kontemporer Syekh Wahbah
al-Zuhaily menafsirkan ayat tersebut dengan, “Maka katakanlah kepadanya
(Fira’un) dengan tutur kata yang lemah lembut (penuh persaudaraan) dan manis
didengar, tidak menampakkan kekasaran dan nasehatilah dia dengan ucapan yang
lemah lembut agar ia lebih tertarik. Karenanya ia akan merasa takut dengan
siksa yang yang dijadikan oleh Allah melalui lisanmu”. Maksudnya adalah agar
Nabi Musa dan Nabi Harun meninggalkan sikap yang kasar (Wahbah Zuhaily, Tafsir
Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid. 15, h. 215.)
Menelusuri
dari berbagai literature, namun ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya,
kenapa Musa a.s. harus berkata lembut padahal Fir’aun adalah tokoh yang sangat
jahat. Menurut al-Razi, ada dua alasan, pertama, sebab
Musa a.s. pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai
dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seharusnya
bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua,
biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan
kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya. (Syekh Al-Razi,kitab Mafātīh, Jilid 22, h. 51.)
Nabi
Muhammad saw juga mencotohkan kepada kita bahwa beliau selalu berkata lemah
lembut kepada siapa pun, baik kepada keluarganya, kepada kaum muslimin yang
telah mengikuti nabi, maupun kepada manusia yang belum beriman. Dengan demikian
dapat ditarik suatu kesimpulan dalam komunikasi Islam, yaitu semaksimal mungkin
kita harus menghindari kata-kata yang kasar dan suara (intonasi) yang bernada
keras dan tinggi. Seseorang tidak diperbolehkan untuk bersuara keras yang tidak
sepadan dengannya atau yang lebih tua, apalagi jika bergaul dengan orang ramai
di tempat umum. Orang
yang tidak tahu sopan santun lupa bahwa ditemat itu bukanlah dia berdua dengan
temannya itu saja yang duduk.Oleh karena itu, orang yang bersuara keras bukan
pada tempatnya diibaratkan sebagai suara keledai yang memekakkan telinga dan
sangat tidak disukai oleh manusia. Maka tidak mengherankan jika suara keledai
dipandang sebagai suara paling buruk. Dalam Alquran ayat yang berkenaan dengan qaulan
layyinan terdapat pada surat Luqman ayat 19 Allah Swt. berfirman:”Sederhanalah
kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai”.(Q.S. Luqman: 19)
0 Response to "Konsep Qaulan Layyina Dalam Komunikasi Islam (I)"
Post a Comment