Reaktualisasi Esensi Pemuda Dalam Mewujudkan Generasi Qur-ani (II)

Pemuda dalam bahasa arabnya “fata”. Sedangkan kata “futuwwah” merupakan bahasa arab yang  berasal dari “fata”. Etimologinya “fata” itu bermakna pemuda yang tampan dan gagah berani. Futuwwah etimooginya dapat diartikan jalan hidup pejuang spiritual (spiritual warriorship).  kesatriaan spiritual. Interpretasi futuwah itu sendiri sangat berkaitan dengan kepemudaan dalam interaksinya dengan kehidupan spiritual  yang bersifat permanen, bukan hanya terpaut pada kepemudaan yang bersifat  jasmani. Al-quranul karim  sendiri juga menyinggung sosok al-fata (pemuda), diantaranya dinukilkan dalam surat Al-Kafhi ayat 10 berbunyi: “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”(QS. Al-kahfi: 10). 

Dalam penafsiran ayat diatas tentang esensi pemuda diperjelas oleh riwayat                                                                             dari Sulaiman bin Ja’far, beliau berkata: Imam Ja’far bin Muhammad berkata: “Wahai Sulaiman, siapakah pemuda itu?” kemudian aku menjawab: “..pemuda bagi kami adalah orang yang masih muda.” Lantas beliau berujar kepadaku: “Seperti yang engkau  ketahui bahwa Ashabul Kahfi semuanya adalah orang-orang tua akan tetapi Allah SWT menyebut mereka sebagai pemuda karena keimanan mereka. Wahai Sulaiman: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan bertakwa maka dialah pemuda.” Pernah dalam kesempatan yang lain Imam Ja’far Ash-Shiddiq menyebutkan: “Pemuda itu adalah seorang mukmin”.

Berdasarkan paparan diatas bahwa esensi al-fata (pemuda) itu terletak pada kekuatan keimanan dan  ketakwaan kepada sang khalik. Sosok pemuda yang berumur masih muda namun tingkah laku dan akhlaknya tidak mencerminkan sosok seperti yang digambarkan diatas, hakikatnya dia bukanlah seorang al-fata (pemuda). Intinya al-fatanya bukan standarisasinya pada umur tetapi jati diri dan spritualisme yang dimiliki oleh seseorang. Dikisahkan dalam surat Ambia ayat 60 tentang keberanian sosok al-fata yang bernama Ibrahim dalam menghancurkan berhala yang dijadikan sebagai sesembahan pada waktu itu, ayat tersebut berbunyi:” Mereka berkata: “Kami telah mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. (QS. Al-Ambiya: 60).
Mengomentari ayat ini Syekh Ibnu Kasir dalam tafsirnya “Ibnu Kasir” menyebutkan sebuah riwayat yang diceritakan oleh oleh Ibu Hatim bahwa Ibnu Abbas mengatakan bahwa tidak sesekali Allah mengutuskan seorang nabi melainkan masih berusia muda dan tidaklah seseorang dianugerahi ilmu melainkan dia selagi masih muda, setelah itu Ibnu Abbas membacakan ayat diatas. Spesifiknya kata “fata” itu didalam al-Quran baik dalam surat Al-Kahfi maupun dalam surat al-Ambiya diilustrasikan seorang pemuda yang berakhalak yang mulia. Menariknya dalam mengambarkan seorang pemuda yang berakhlak tercela, Al-Quran melukiskan dengan kata “al-ghulam”, inipun terdapat juga dalam surat yang sama Al-Kahfi ayat 74, 80  ketika dikisahkan pengembaraan ilmu nabi Musa bersama dengan nabi Khaidir yang  menceritakan seorang anak muda yang dibunuh oleh Nabi Khidr karena dalam pandangan beliau anak tersebut berperangai buruk dan jika dibiarkan dapat menjerumus kedua orang tuanya ke dalam kesesatan.dan kekafiran,                                                                                                                                             

Dalam dunia tasawuf dan sufi futuwwah itu diinterpretasikan sebagai norma tingakh laku dan akhlakul karimah yang terpuji dalam meneladani  para rasul dan nabi, sahabat, salafatus salih dan khalaf serta para waliyullah dan ulama sebagai warisatul ambiya. Salah seorang murid Syekh Abdullah al-Kharqani Al-Hambali yang mengarang kitab Manazil As-Sa’irin sebuah kitab berisi pendakian spiritual hasil karya Syekh Ismail Abdullah al-Hawari, beliau berkata: "Inti futuwwah artinya engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia". Jelas dari pemahaman diatas setiap orang yang meneladani jalan ini juga disebut al-fata yang secara harfiah (bahasa) bermakna pemuda yang tampan (budi pekertinya) dan gagah.

Suatu  ketika  Ja'far bin Muhammad ditanya seseorang tentang konsep futuwwah tersebut. Namun beliau tidak langsung menjawab, tetapi bertanya balik kepadanya:, "Apa pendapat kamu?". Sang penanya pun menjawab: "Jika engkau diberi, maka engkau bersyukur, dan jika tidak diberi, maka engkau bersabar." Kemudian Ja'far menambahkan, "Anjing pun di tempat kami juga bisa begitu." Orang itu bertanya, "Wahai anak keturunan Rasulullah, kalau begitu apa maknanya menurut kalian?" lantas Saidina Ja'far menjawab, "Jika kami diberi, makan kami lebih suka memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi, maka kami bersyukur."


Seorang generasi muda yang memiliki sense of curiosity (rasa ingin tahu) Makanya dengan memiliki sifat tersebut, seorang generasi muda itu cenderung untuk banyak mencoba dan mempraktekan hal-hal yang berinovasi baru tentu saja yang bernilai positif. .

Realita saat ini menjawab hal demikian, dikala dalam komunitas masyarakat sedang tren dengan sebuah hal baru, misalnya model pakaian, bergaya, bertingkah laku dan lainnya, maka generasi muda pun mengikuti, mempraktekannya dan memakai pakaian itu. Biarpun demikian yang perlu diperhatikan secara seksama, sense of curiosity penulis maksudkan di sini adalah rasa keingintahuan yang positif dan inovatif, bukan sebaliknya, sehingga demikian sang generasi muda akan menimbulkan hasrat untuk mencari, menguasai dan mentransferkan  manfaatnya kepada masyarakat lainnya serta lingkungan sekitar kita.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Reaktualisasi Esensi Pemuda Dalam Mewujudkan Generasi Qur-ani (II)"

Post a Comment