Asuransi Sosial dan Asuransi Komersial, Bolehkah?
Polemik asuransi dalam Islam terjadi berbagai pandangan terhadap masalah kontemporer ini di dunia Islam. Sebagian ulama membolehkan asuransi sosial, namun berbeda dengan dengan asuransi komerseial. Benarkah demikian? Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahra, alasan yang dapat
digunakan untuk membolehkan asuransi yang bersifat sosial adalah sama dengan
pendapat yang kedua, sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat komersial
semata-semata pada garis besarnya sama dengan alasan yang pertama.
Asuransi dengan segala jenisnya
dipandang syubhat.
Asuransi dipandang syubhat indikatornya tidak ada dalil-dalil syar’i
yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya. Apabila
hukum asuransi dikatagorikan syubhat, maka konsepkuensinya adalah bahwa umat
Islam dituntut untuk berhati-hati (al-Ihtiyah) dalam menghadapi asuransi, umat
islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi,
apabila dalam keadaan darurat.
Untuk
menanggapi polemik hukum tersebut, K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. mengemukakan
pendapatnya bahwa perjanjian asuransi dengan asas gotong royong atau ta’awun
menuntut agar mental para tertanggung benar-benar siap. Perjanjian dilakukan
benar-benar perjanjian tolong menolong, bukan perjanjian tukar-menukar. Dengan
demikian, bukan untung rugi yang dipikirkan, tetapi bagaimana hubungan tolong
menolong dapat ditegakkan. Tertanggung yang memutuskan kontrak sebelum habis
waktunya dan kehilangan seluruh atau sebagian besar premi yang telah dibayarkan
tidak dirasakan sebagai kerugian. Lebih-lebih dalam asuransi kesehatan, iuran
yang tidak akan dikembali, dan tidak dinikmati oleh tertanggung yang selalu
sehat, tdak dirasakan sebagai kehilangan, karena dapat digunakan tertanggung
lainnya.
Apabila mental para peserta
asuransi atau tertanggung sebagaimana digambarkan oleh Ahmad Azhar Basyir
diatas, maka prinsip gotong royong atau tolong-menolong tersebut sudah dapat
dilaksanakan. Dengan sendirinya perintah “tolong-menolonglah kamu dalam berbuat
kebaikan” sebagaimana dianjurkan dalam syari’at Islam akan terlaksana. Pada
gelirannya kemaslahatan umat sedikid demi sedikit akan meningkat.
Namun
demikian, untuk tercapainya prinsip tolong-menolong, Ahmad Azhar Basyir
menambahkan agar perusahaan asuransi benar-benar merupakan lembaga yang
mengorganisasikan perjanjian gotong-royong, yang memperoleh jasa dari jerih
payahnya, secara imbang, bukan peruashaan yang justru berupaya memperoleh
kentungan yang sebesar-besarnya.
Terlepas
dari empat pandanagan tentang hukum asuarnsi menurut islam seperti tersebut
diatas, ummat Islam di Indonesia yang mayoritas bersikap mendua. Di satu pihak
tuntutan kebutuhan akan masa depan, asuransi merupakan kebutuhan setiap orang,
sehingga keikutsertaannya didalam asuransi sangat urgen. Di lain pihak.
Keterlibatan setiap orang Islam didalam usaha asuransi belum bisa secara
optimal, karena masih ragu tentang kedudukan hukumnya menurut Islam.
Sedangkan
keraguan ummat islam terhadap kedudukan hukum asuransi, karena asuransi
dikwatirkan mengandung unsur-unsur ketidakpastian (gharar), gambling (maisir),
riba dan komersial. “Untuk
dapat melibatkan ummat Islam secara optimal terhadap usaha asuransi, maka pada
tanggal 25 Agustus 1994 dibentuklah Asuransi Takapul keluarga, yang beroperasi
diabwah anak perusahaan PT. Syarikat Takaful Indonesia”.[1]
[1]
Warkum Sumitro, ”Azas-azas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait
(BAMUI) dan Takaful) di Indonesia…”,
hal. 168.
0 Response to "Asuransi Sosial dan Asuransi Komersial, Bolehkah?"
Post a Comment