Fiqh Ramadhan (III): Batal Pahala Puasa, Hadist Maudhu'?
Kini telah tiba bulan
suci Ramadhan telah tiba, bulan penuh rahmat dan ampunan dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Kesempatan sangat berharga untuk meraih ampunan besar dari Allah
Ta’ala dengan menjalankan ibadah puasa sebaik mungkin secara zahir dan bathin
yakni dengan menjaga zahir kita dari melakukan perkara yang membatalkan puasa
dan menjaga bathin kita dari perkara yang merusak pahala puasa sehingga puasa
kita menjadi sempurna zahir dan bathin.
Berbicara tentang
perkara yang membatalkan puasa, maka sudah maklum diketahui dalam kitab-kitab
feqah yang ada dari kalangan empat mazhab seperti murtad, haid, nifas,
bersetubuh, makan minum dan lainnya. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa semisal
berdusta, sumpah palsu, berkata kotor, mengghibah dan semisalnya, apakah
membatalkan puasa atau pahala puasa sahaja ? Seperti hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut ini :
خمس
يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة
“ Lima perkara yang
membatalkan orang yang berpuasa ; dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan
melihat dengan syahwat “.
Dan bagaimana kedudukan
hadits tersebut ? Jumhur fuqaha dari mazhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah
dan Hanbaliyyah mengatakan bahwa perkara ma’shiat semacam itu tidak membatalkan
puasa, kecuali imam al-Awza’i beliau mengatakan bahwa ghibah dapat membatalkan
puasa dan wajib diqadhai, beliau mendasarinya salah satunya dengan dalil hadits
di atas dan juga hadits berikut :
من
لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“ Barangsiapa yang
tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia
meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari).
Pendapat al-Awza’i
dijawab oleh para ulama sebagaimana disebutkan oleh imam an-Nawawi berikut :وأجاب أصحابنا عن هذه الأحاديث سوى الأخير بأن المراد أن كمال
الصوم وفضيلته المطلوبة إنما يكون بصيانته عن اللغو والكلام الرديء لا أن الصوم
يبطل به . وأما الحديث الأخير ، خمس يفطرن الصائم ” فحديث باطل لا يحتج به ، وأجاب
عنه الماوردي والمتولي وغيرهما بأن المراد بطلان الثواب لا نفس الصوم
“ Para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah)
menjawab tentang hadits-hadits tersebut selain hadits yang terakhir, bahwasanya
yang dimaksud adalah sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang
dituntut adalah dapat diperoleh dengan menjaga dari perbuatan sia-sia dan
ucapan kotor, bukan puasa dapat batal dengannya. Adapun hadits terakhir yakni ;
“ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa “, maka hadits itu
bathil tidak boleh dibuat hujjah. Maka dijawab oleh imam al-Mawardi ,
al-Mutawalli dan selain keduanya, bahwasanya yang dimaksud hadits itu adalah
membatalkan pahala puasa bukan dzatnya puasa itu sendiri “. [kitab
Al-Majmu' syarah muhadzad 6/356]
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’atnya dari hadits ‘Anbasah, dan
ia mengatakan hadits itu palsu. Ibnu Ma’in mengatakan, “ Sa’id seorang yang
pendusta, dan dari Sa’id sampai ke Anas, semua perawinya tertuduh. Ibnu Abi
Hatim mengatakan dalam kitab ‘Ilalnya, “ Aku bertanya kepada ayahku tentang
hadits tersbut yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dari Muhammad al-Hajjaj dari
Maisarah bin Abd Rabbih dari Jaban dari Anas…maka beliau menjawab, “ Ini adalah
pendusta…”. [kitab Nashbu Ar-royah 2/483]
Sedangkan imam as-Subuki
menilainya dhaif meskipun maknanya sahih :
قال
السبكي: وحديث خمس يفطرن الصائم الغيبة والنميمة إلى آخره ضعيف وإن صح
“ Imam as-Subuki
mengatakan, “ Dan hadits “ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa, yakni
ghibah, adu domba dan seterusnya adalah dhaif walaupun sahih (maknanya) “.
[kitab Al-Iqna 1/220]
Dari keterangan imam
Nawawi, dipahami bahwasanya ghibah dan ucapan kotor tidak membatalkan puasa,
adapun hadits “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa…”, maka
dijawab oleh para ulama bahwa hadits itu bathil dan tidak bisa dijadikan hujjah
untuk menetapkan batalnya puasa. Akan tetapi, imam al-Mawardi dan imam
al-mutawalli menjawab bahwa yang dimaksud hadits itu adalah perkara yang
membatalkan pahala puasa bukan puasanya.
Dalam pengertiannya
walaupun hadits itu dinilai bathil, namun masih bisa menerima takwil yakni
bahwa yang dimaksudkan adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya itu
sendiri. Dengan demikian jika ada orang yang menggunakan hadits tersebut
sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya puasa, maka hujjahnya tertolak karena
jumhur ulama sudah menetapkan berdasarkan hadits-hadits sahih bahwasanya
perkara maksyiat semacam ghibah, dusta dan lainnya tidak membatlkan puasa.
Namun apabila ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk
menetapkan batalnya pahala orang yang berpuasa, maka hal ini tidak bisa
ditolak, karena imam al-Mawardi, imam al-Mutawawlli dan ulama lainnya
membolehkannya dengan menerima makna takwilannya yaitu yang dimaksud adalah
membatalkan pahala puasa bukan puasanya.
Sumber: PISS
0 Response to "Fiqh Ramadhan (III): Batal Pahala Puasa, Hadist Maudhu'?"
Post a Comment