Tradisi Meugang Sebagai Islamisasi Budaya
Salah satu tradisi masyarkat Aceh menjelang
lebaran, baik idul fitri maupun Idul Adha juga menjelang bulan Ramadhan adanya
tradisi Meugang atau makmeugang. Tradisi ini telah telah lama
berlangsung dalam masyarakat Aceh dari masa ke masa. Menelusuri asal usul dan
sejarah awalnya tidak ada referensi yang signifikan yang menyebutkan kapan
secara pasti awal sejarah meugang itu lahir. Namun sebagian ahli sejarah juga
telah mencoba menalaah dan mengkajinya. Ini
sebagiamana di sebutkan oleh Ali Hasyimy dan beberapa tokoh lainnya seperti yang
dinukilkan oleh Marzuki Abu Bakar dalam karyanya dengan judul “Tradisi
Meugang dalam Masyarakat Aceh: Sebuah Tafsir agama dalam Budaya”. Beliau dalam
tulisannya menjelaskan bahwa tidak ditemukan referensi yang sangat menyakinkan
dalam lintasan sejarah, siapa dan kapan pertama sekali tradisi meugang ini
dilakukan. Ali Hasjimy menyebutkan bahwa tradisi ini sudah dimulai sejak masa
kerajaan Aceh Darussalam. Tradisi meugang ini dilaksanakan oleh kerajaan di
istana yang dihadiri oleh para sultan, menteri, para pembesar kerajaan serta
Ulama. Pada hari itu, raja memerintahkan kepada Balai Fakir, yaitu badan yang
menangani fakir miskin dan dhuafa untuk membagikan daging, pakian dan beras
kepada fakir miskin dan kaum dhua’fa. Biaya ini semuanya ditanggung oleh
bendahara Silatu Rahim, yaitu lembaga yang menangani hubungan negara dan rakyat
di Kerajaan Aceh Darussalam. (Marzuki Abu Bakar, “Tradisi Meugang dalam Masyarakat
Aceh: Sebuah Tafsir agama dalam Budaya”, 2014).
Sangat bervariasi acara di hari meugang
tersebut ada juga yang menyebutkan dihari tersebut dilakukannya ziarah kubur
terhadap orang yang di pandang mulia baik ulama, orang tua atau lainnya, bahkan
saat ini juga masih terlihat adanya kerabat, dan sanak keluarga kala hari
meugang ikut membersihkan kuburan atau maqbarah. Hal ini juga telah di
praktekkan dulunya oleh pendahulu kita seperti di jelaskan oleh Denys Lombard
dalam bukunya “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda”, beliau menyebutkan
adanya upacara meugang di Kerajaan Aceh Darussalam, bahkan menurutnya, di sana
ada semacam peletakan karangan bunga di makam para sultan. Di samping itu ada
juga yang menyebutkan bahwa perayaan
meugang ini dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai wujud rasa syukur raja
serta menyambut datangnya bulan Ramadhan, sehingga dipotonglah lembu atau
kerbau, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat. Setelah Perang dan
masuk penjajah Belanda, tradisi tersebut juga masih dilakukan, akan tetapi
dikoordinir oleh para hulubalang sebagai penguasa wilayah. Begitulah, sampai
saat ini tradisi meugang terus dilestarikan dan dilaksanakan oleh berbagai
kalangan masyrakat dalam kondisi apapun. (Marzuki Abu Bakar, 2014)
Hari meugang itu juga di maknai sebagai
persiapan untuk menyambut bulan Ramadhan ini sebagaiman di ungkapakan dalam
karya monumental dengan judul , “Aceh di Mata Kolonialis”, sang
pengarang buku tersebut C. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa, “Maksud
persiapan selama tiga hari itu terutama supaya tersedia cukup bekaluntuk setiap
kali berbuka puasa di waktu matahari terbenam dan makan pagi (sahur)sebelum
matahari terbit. Juga untuk menjaga supaya orang berpuasa sedapat mungkin tidak
perlu pergi berbelanja. Bukankah mereka yang berpuasa terlalu letih untuk
memberikan cukup perhatian berdagang di siang hari, sehingga pasar-pasar hampir
sepi selama 30 hari berpuasa”.
Marzuki juga menjelaskan berdasarkan keterangan
dari C. Snouck Hurgronje menunjukkan bahwa dahulunya meugang dikenal dengan
tiga hari, akan tetapi setelah adanya kesepakatan dari para ulama di Aceh dan
Indonesia pada umumnya untuk menggunakan metode rukyah dalam penentuan 1
Ramadhan, maka meugang hanya dikenal satu hari saja, yaitu satu hari sebelum 1
Ramadhan, hanya sebagian orang ada yang memilih merayakan meugang sejak dua
hari sebelum Ramadhan. Dalam karyanya yang lain, C. Snouck Hugronje menyebutkan
bahwa daging meugang juga digunakan untuk persediaan makanan pada saat perang,
tentunya dengan menggunakan metode pengawetan terhadap daging yang dipotong
pada saat meugang.
Berdasarkan paparan diatas dapat
disimpulkan bahwa “asbabul wurud” (indicator lahirnya) tradisi meugang
dalam masyarakat Aceh banyak versinya, diantarannya, pertama, dapat di pahami sebagai bentuk apalikasi
nilai-nilai religi dimana pihak penguasa (pemerintah) mengundang mereka yang
kurang mampu baik fakir,miskin dan sejenisnya ke Istana untuk disantuni dan di
beri sumbangan kepada mereka. Kedua, meugang itu tradisi untuk
menziarahi dan membersihkan maqbarah (kuburan) orang yang di hormati baik orang
tua, ulama, raja, sanak keluarga dan lainnya. ketiga, meugang itu
persiapan menuju bulan suci Ramadhan, baik itu dengan memperbanyak sedekah atau
sebatas menyimpan daging yang diawetkan sebagai perbekalan selama Ramadhan.
Referensi : Marzuki Abu Bakar, Tradisi
Meugang dalam Masyarakat Aceh: Sebuah Tafsir agama dalam Budaya, 2014
0 Response to "Tradisi Meugang Sebagai Islamisasi Budaya"
Post a Comment