Hikmah Ramadhan (VIII): Ramadhan Sosok Bulan Tarbiyah An-Nafs

Kita hidup di dunia ini terkadang menganggap mereka yang menegur kita terhadap sebuah kesalahan merupakan hal yang hina.Padahal itu merupakan sebuah teguran demikebaikan. Fenomena ini sering terjadi dalam masyarakat kita. Hendaknya dengan bulan ramadhan sebagai bulan tarbiyah an-nafsi (mendidik jiwa) mampu menjauhkan diri  dari berbagai penyakit hati termasuk merasa diri paling benar atau dalam bahasa agama katagori ini di kelompokkan kepada takabbur. Sikap takbur itu adakalanya dapat dilihat melalui perbicaraan, seperti tidak mereka tidak mau mengalah, menganggap dirinya sentiasa benar dan tidak ingin mendengar dan mengikut nasihat.
Lantas bagaimana esensial takabur itu? Sikap demikian sebagaimana di gambarkan oleh Imam Al Ghazali, beliau berkata ; "Orang yang takabur itu ialah orang yang apabila ditegur, ia marah dan benci, sedangkan kalau ia menegur orang lain ditegurnya dengan keras dan kasar." Sikap tidak terpuji itu mendapat ancaman sebagaimana di sebutkan oleh baginda nabi Muhammad Saw, berbunyi:: "Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat walau seberat zarah dari perasaan takabur atau sombong."
Bukan hanya nabi mengambarkan ancaman untuk tidak bersikap bertakabur(sombong), bahkan dalam hal ini Allah SWT juga menyebutkan ancaman neraka Jahannam untuk mereka yang Mutakkbirin (orang takabbur). Firman Allah tersebut berbunyi:  "Sesungguhnya mereka yang sombong untuk taat sebagai hambaKu, mereka akan masuk Jahanam sebagai makhluk yang hina dina."(QS. Almukmim:60)
Tarbiyah An-Nafsi Untuk Takabbur
Imam Al-Ghazali bukan hanya menggambarkan penyakit “kronis” takabbur namun juga memberikan gambaran semcam terapi jiwa  dalam konteks  tarbiyatuh an-nafsi terhadap mutakabbirin (orang taakabur). Beliau menyebutkan apabila kita berjumpa dengan kanak-kanak, anggaplah kanak-kanak itu lebih mulia dari kita. Kerana kanak-kanak itu belum diberati dosa, sedangkan kita sudah berlarut-larut hampir setiap langkah berbuat dosa. Apabila kita berhadapan dengan orang tua, anggaplah orang tua itu lebih mulia, kerana ia lebih lama beribadah daripada kita. Ketika kita berjumpa dengan orang alim, anggaplah beliau lebih mulia dari kita kerana banyak ilmu-ilmu yang tidak kita ketahui tetapi beliau mengetahuinya.
Kalau kita melihat orang yang jahil, anggaplah dia lebih mulia dari kita , karena dia berbuat sesuatu kesalahan atau dosa kerana kejahilannya sedang kita berbuat dosa dalam keadaan kita mengetahuinya. Kalau kita berjumpa dengan orang jahat, jangan lah anggap kita mulia atau lebih baik daripadanya, tetapi katakanlah bahawa orang jahat itu mungkin di masa tuanya ia bertaubat, memohon ampun dari perbuatannya. Sedangkan kita sendiri belum tahu lagi bagaimana kita akhirnya. Apabila berjumpa dengan orang kafir, katakanlah dalam hati, bahwa si kafir itu belum tentu kafir selamanya, mungkin di suatu hari datang keinsafan padanya, dia memeluk Islam dan semua dosanya di dalam kekafiran dulu diampuni Tuhan, sedangkan kita ini sejak lahir sudah Islam hingga saat ini, tetapi dosa terus dikerjakan juga dan balasan pahala belum tentu lagi.

Indahnya merasa rendah (Tawadhu) dan tidak bersikap sombong kepada sesama.  Terlebih dibulan Ramadhan ini bulan untuk melatih jiwa dari sikap yang tidak terpuji dan menjadikan kita untuk terus membenah jiwa dan nafsu kita dalam bingkai tarbiyah an-nafsi. Kalau di bulan Ramadhan saja kita tidak mampu memanajemen qalbu dan an-nafsi kita, lantas kapan juga kita menyepuh dan membersihakn kotoran dan karat yang sudah membandel bermain di qalbu kita? Beranjak dari itu  Jadikanlah Ramadhan ini yang sedang berlabuh menuju terminal terakhir (Itqum minannar) sebagai bulantarbiyah An-nafsi demi menggapai mardhatillah. Amiin

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hikmah Ramadhan (VIII): Ramadhan Sosok Bulan Tarbiyah An-Nafs"

Post a Comment